PROBLEMATIKA PENCALONAN ANGGOTA LEGISLATIVE MANTAN TERPIDANA
|
Niasselatan, Bawaslu - Setiap Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki hak yang sama dan setara untuk mencalonkan diri menjadi calon anggota legislative yakni anggota DPD RI, DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses pencalonan calon anggota legislative, setiap calon wajib mematuhi dan memenuhi prosedur dan syarat-syarat yang telah diatur dalam Undang-Undang pemilu maupun peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh penyelengara pemilu yaitu Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu. Untuk pemilu 2019 dan Pemilu 2024 mendatang, Undang-Undang pemilu yang digunakan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pada pemilu tahun 2019, proses pencalonan anggota legislative memberikan pengalaman adanya fakta perbedaan pendapat dan hingga sengketa proses di tingkat Bawaslu dan di tingkat Mahkamah Agung antara peserta pemilu dengan KPU, terkait syarat pencalonan anggota legislative bagi mantan Narapidana yang dikeluarkan oleh KPU melalui Peraturan KPU (PKPU) No. 20 tahun 2018. Dalam UU No. 7 Tahun 2017, pasal 240 ayat 1 huruf (g), dinyatakan bahwa bakal calon anggota DPR, DPRD Prov, dan DPRD Kab/Kota harus memenuhi persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan narapidana. Syarat tersebut di atas berlaku bagi setiap bakal calon legislative bahwa tidak pernah terpidana dengan ancaman hukuman penjara 5 tahun. Namun bagi bakal calon legislative yang memiliki latarbelakang sebagai mantan terpidana wajib mengumumkan kepada publik bahwa dirinya sebagai mantan terpidana. Pengumuman kepada publik harus dibuktikan dengan bukti yang otentik dan akurat.
Dalam memberikan pedoman teknis kepada peserta pemilu dalam proses pencalonan anggota DPR, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota, KPU menerbitkan Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Prov, DPRD Kab/Kota. KPU dalam pedomanan teknis syarat bakal calon legislative pada PKPU tersebut diatas, disebutkan dan ditambahkan penjelasan teknis persyaratan bakal calon yaitu pasal 7 ayat 1 huruf (g) berbunyi, “tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
Selanjunya dijelaskan kembali pada Pasal 7 ayat 4 Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, dikecualikan bagi:
a. mantan terpidana yang telah selesai menjalani masa pemidanaannya, dan secara kumulatif bersedia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang, serta mencantumkan dalam daftar riwayat hidup; dan
b. terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis) atau terpidana karena alasan politik yang tidak menjalani pidana dalam penjara, dan secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik.
Bunyi pada pasal 7 ayat 4 tersebut di atas dapat dipahami bahwa bakal calon legislative sebagai mantan narapidana atau pernah dipenjara karena suatu kasus pidana umum bilamana telah selesai masa pemidanaannya dapat mencalonkan diri di KPU dengan syarat bersedia secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik, bukan kejahatan yang berulang-ulang dilakukan dan serta mencantumkan riwayat hidup. Bukti dokumen bahwa telah mengumumkan kepada publik yaitu Surat dari pimpinan redaksi media massa lokal dan nasional yang menerangkan bahwa bakal calon telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik sebagai mantan terpidana dan melampirkan bukti pernyataan atau pengumuman yang ditayangkan di media massa lokal atau nasional.
Demikian juga bagi bakal calon legislative yang sebagai terpidana karena kealpaan ringan (culpa levis) atau terpidana karena alasan politik melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang tidak menjalani pidana dalam penjara wajib secara terbuka dan jujur mengumumkan kepada publik. Pengumuman kepada publok juga dibuktikan dengan surat keterangan dari pimpinan media massa serta bukti pernyataan atau pengumumannya.
Frasa “bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang” pada pasal 7 ayat 4 huruf (a) PKPU No. 20 Tahun 2018 di atas, dapat menjadi potensi perdebatan dan potensi sengketa bila terdapat bakal calon legislative mantan narapidana karena melakukan kejahatan yang berulang ikut didaftarkan oleh partai politik. Perdebatan atau sengketa dapat muncul karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017. Mantan terpidana yang memiliki kasus kejahatan yang berulang dapat mencalonkan dan mendaftarkan diri sebagai calon namun dapat dianggap Tidak Memenuhi Syarat (TMS) oleh KPU. Namun bakal calon tersebut dapat memiliki penafsiran hukum bahwa dirinya Memenuhi Syarat (MS) karena tidak dilarang dalam UU No. 7 Tahun 2017.
Syarat pencalonan yang dianggap sebagai terobosan hukum yang diambil oleh KPU adalah larangan terhadap bakal calon legislative mantan narapidana Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi. Larangan tersebut tercantum dalam PKPU No. 18 Tahun 2020 Pasal 7 ayat 1 huruf (h) berbunyi, “bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi”. Larangan bagi mantan terpidana kasus Bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi merupakan keinginan dari sebagian besar masyarakat. Perbuatan Kejahatan tersebut tergolong sebagai kejahatan extraordinary crime. Dan, bagi oknum oknum pelaku kejahatannya harus ditutup ruang untuk menjadi pemimpin dan perwakilan rakyat banyak.
Dalam perspektif hukum, setiap warga Negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukum dan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, PKPU No. 18 Tahun 2018 Pasal 7 ayat 1 huruf (h) yang memuat larangan bagi mantan terpidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak dan Bandar narkoba dianggap tidak sejalan atau bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Ketentuan Peraturan KPU tersebut telah melanggar asas hukum Lex Superior Derogat Lex Inferiori yaitu hukum yang lebih tinggi terhadap derajatnya mengesampingkan hukum/peraturan yang derajatnya dibawahnya. Selain bertentangan dengan asas hukum, larangan tersebut juga dinilai melanggar hak konstitusional setiap warga Negara.
Pada Pemilu 2019, Bawaslu telah meloloskan 34 orang calon legislative mantan korupsi yang tersebar dibeberapa daerah. Di Kabupaten Nias Selatan terdapat 2 (dua) orang bakal calon DPRD Kabupaten mantan narapidana korupsi dari peserta pemilu partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang ditolak oleh KPU Nias Selatan. Seterusnya, berpedoman pada Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) no. 27 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Perbawaslu No. 18 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penyelesaian sengketa, peserta pemilu tersebut mengajukan permohonan sengketa proses pemilu di Bawaslu Nias Selatan. Bawaslu Nias Selatan melalui putusan No. 001/PS/BWSL.Kab.Nisel.02.19/VIII/2018; No. 002/PS/BWSL.Kab.Nisel.02.19/VIII/2018, mengabulkan permohonan pemohon sebagai peserta pemilu untuk menverifikasi dan menerima kembali 2 (dua) orang calon anggota DPRD Kabupaten Nias Selatan yang berstatus mantan terpidana korupsi.
Selanjutnya, Mahkamah Agung (MA) melalui putusannya no. Nomor 46 P/HUM/2018 menyatakan bahwa sepanjang frasa “Mantan Terpidana Korupsi” dalam PKPU No. 20 Tahun 2018 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum. Berdasarkan putusan MA tersebut diatas, KPU mengeluarkan Peraturan KPU No 31 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU No. 20 Tahun2018. Pasal 4 ayat 3,berbunyi “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak”. Pasal tersebut menerangkan bahwa bakal calon legislative mantan terpidana korupsi dapat diterima dan memenuhi syarat sebagia calon. Sedangkan mantan terpidana bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak tetap dianggap tidak memenuhi syarat. Pada perubahan peraturan KPU No 31 Tahun 2018 untuk syarat calon legislative mantan terpidana Bandar Narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak masih berpotensi menjadi isu perdebatan dan bahan sengketa pada pemilu 2024. Oleh karena itu, untuk merealisasikan semangat anti Korupsi, anti Kejahatan Seksual terhadap anak, dan Pemberatasan Narkoba direkomendasaikan kepada Pemerintah dan DPR sebagai pembuat Undang-Undang untuk dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) untuk menguatkan peraturan KPU tersebut di atas. Sehingga, perdebatan dan pelaksanaan kewenangan diantara penyelenggara pemilu khusunya Bawaslu dan KPU tetap sejalan dalam satu kerangka pemahaman hukum serta memberikan kepastian hukum kepada peserta pemilu. Diharapkan kepada partai politik untuk membuat fakta integritas dan komitmen untuk tidak mendaftarakan bakal calon legislative mantan terpidana korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba, serta tidak mencalonkan calon legislative mantan terpidana kejahatan yang berulang. Demikian juga direkomendasikan kepada Bakal calon legislative yang memiliki latarbelakang sebagai mantan terpidana kasus yang tergolong pada kasus extraordinary crime seperti korupsi, Bandar Narkoba, terorisme, pedofil/kejahatan seksual terhadap anak dan kejahatan luarbiasa lainnya untuk secara sadar menahan diri tidak berpartispasi mendaftarkan diri sebagai calon legislative atau calon pemimpin Negara dan Daerah.
Penulis:
Pilipus F. Sarumaha, M.S
(Anggota Bawaslu Nisel, Kordiv. PHL)